"Saya tidak tahu kunci sukses, tetapi kunci kegagalan adalah berusaha menyenangkan hati semua orang.” (Bill Cosby)
Ada seseorang yang mampu meyakinkan hati saya ketika saya tidak yakin dengan hati saya sendiri. Ada sesorang yang yang mampu mengajari saya untuk selalu tegar dan tersenyum. Dialah bapak saya.
Bapak saya meninggal akhir November 2008 lalu. Ketika saya memulai pendidikan S1 saya di salah satu perguruan tinggi swasta di Bali.
Bapak di rumah sakit selama 1,5 bulan, dan selama itu saya sering pulang pergi Denpasar-Jombang hanya karena ingin tau keadaan bapak. Suatu ketika bapak divonis mengidap Hepatoma stadium 3, dan tidak ada lebih dari 1 bulan, bapak saya meninggal. Saat itu saya masih berada di Denpasar, bertepatan dengan masa Ujian Tengah Semester 1.
Perjalanan dari Denpasar ke kampung halaman terasa sangat berat. Namun saya ingat dengan nasehat yang sempat bapak katakan kepada saya via telepon ketika bapak sakit, “Selalu tersenyumlah walau kamu sedang sedih. Karena suatu saat kamu akan jauh merasa bahagia dibading orang yang bahagia karena senyummu.”
Dalam perjalanan pulang pun saya masih bercanda dengan paman dan kakak sepupu saya yang mengantar saya pulang. Sesampai di Bandara Juanda Surabaya, saya ditelepon oleh teman bapak, bahwa jenazah bapak harus segera dimakamkan dan alangkah baiknya tidak menunggu saya yang masih menempuh perjalanan 2 jam lagi untuk menuju ke Jombang. Dan saya mencoba untuk mengikhlaskan untuk tidak melihat wajah bapak sebelum dimakamkan.
2 jam berlalu, akhirnya saya, paman, dan kakak sepupu saya tiba di depan rumah. Kerumunan orang di ruang tamu tengah memandang kami. Saya mempersiapkan ketegaran yang lebih dalam diri saya. Saat saya mengucapkan salam sebelum masuk rumah, saya disambut dengan tangisan keluarga besar saya. Saya tidak peduli dengan mereka. Setelah saya mencium tangan kakek dan nenek saya, saya langsung menuju ke emak yang waktu itu sedang menangis. Saya menciumnya dan memeluknya sambil membisikkan, “Emak yang kuat ya.!” Kemudian saya tersenyum, kemudian mengambil sepiring nasi untuk makan kami berdua.
Saya mencoba untuk tersenyum dan menghibur emak. Saya tetap tidak mau menangis di hadapan mereka. Saya harus tetap tersenyum. Memang senyum tidak akan membuat bapak saya hidup kembali, namun saya yakin dengan kekuatan senyum, saya mampu membuat kebahagiaan emak menjadi hidup kembali, karena seorang ibu pasti bahagia ketika anaknya tersenyum. Dan orang-orang yang menyayangi saya juga bahagia jika saya tersenyum.
Esok harinya, saya sempat melihat emak saya tersenyum walau hanya sedikit. Terlihat memaksa dan dengan mata yang masih terlihat sembab. Dan itulah kekuatan baru untuk hidup saya. Saya semakin yakin bahwa kesedihan emak tidak akan lama lagi akan menjadi senyuman. Dan dengan senyumnya, saya semakin kuat untuk langkah saya selanjutnya.
Dari hari ke hari saya melihat senyum emak mulai melebar, saya sangat bahagia. Dan saya selalu ingat pesan bapak saat masih dirawat di rumah sakit, “Selalu tersenyumlah walau kamu sedang sedih. Karena suatu saat kamu akan jauh merasa bahagia dibanding orang yang bahagia karena senyummu.”
---
Denpasar, 12 Januari 2009
Niswa M. Djupri