Maafkan saya, Ukhti..
Maaf,
Maafkan saya terlalu lelah untuk selalu menunggu..
Mendengar bagaimana rasa lelahmu dari ucapan-ucapan yang sering tercipta dari bibir manismu, tak mampu membuat saya bisa merasakan bagaimana lelah itu sebenarnya. Saya yang sering bermain-main dengan dunia saya sendiri, belum mampu mengerti apa makna dewasa yang sebenarnya.
Saya belum bisa memahami bagaimana cara menunggu yang baik, sampai akhirnya saya sering menangis karenanya. Sering, berkali-kali, dan berulang-ulang.
Maafkan saya yang tak bisa mengerti tentangmu..
Maafkan saya yang tak bisa menahan gejolak jiwa kekanak-kanakan ini..
Maafkan saya yang sekarang ini butiran airmata tumpah di wajah layu saya..
Semua seakan menembus rongga dada saya sampai akhirnya saya sesak tak tertahan.
Senyummu di sana yang mungkin membayangkan bagaimana saya ketika menangis, cukup membuat saya bahagia melihat senyum itu.
Tersenyumlah lagi,
lagi,
dan lagi.
Biarlah airmata saya tumpah di antaranya.
Apa yang saya pikirkan adalah bagaimana cara saya untuk bisa menghargai Ukhti. Menghargai setiap waktu Ukhti. Karena menurut saya, apa yang paling berharga di dunia ini adalah detik yang baru saja lewat. Kita tidak akan bisa kembali ke masa itu.
Dan apa yang saya rasakan adalah saya merasa menghargai Ukhti, tapi belum bisa. Saya masih tak bisa menahan benturan-benturan emosi dalam jiwa saya.
Terima kasih, Ukhti.. :)
23:36:58 Wita
Denpasar, 28 Desember 2010
Niswa Ma'rifah Djupri