Aku terbaring. Dada sesak. Panas sekujur tubuh. Dalam ketakutan yang maha, bagai seorang calon tamu malaikat di dalam kubur, kurasakan kulit pori-pori mengisut. Mata kuyu menunggu maut.
Aku bangkit dari pembaringan. Melawan daya yang tak ada, melawan takut yang membayang. Tak akan pasrah kepada nasib. Tak akan menyerah kepada sakit. Aku tak mau mati. Aku mau tidur dan bangun ketika tak ada lagi penyakit di muka bumi.
Aku tak mau mati!
Ilmu pengetahuan melahirkan berbagai teori, obat, dan penemuanpenemuan di bidang kedokteran yang begitu cemerlang. Dan dengan kecerdasannya, manusia punya alasan untuk hidup abadi dan menolak untuk mati.
Lalu, muncul tanya dalam hati.
Gejala apakah ini? Bagaimana sebenarnya tugas utama ilmu pengetahuan menyelesaikan permasalahan? Bagaimana tugas filsafat mencari persoalan secara mengakar? Adakah agama sudah mempersiapkan jawaban?
Manusia takut mati karena daya pikat dunia. Pesonanya sungguh luar biasa. Hari-hari yang penuh gemerlap, suka-cita, kesenangan, dan gelak tawa. Itulah dunia; rumah paling mewah tempat segala kenikmatan dapat dijumpa. Berhambur dan berdansalah di halamannya. Karena bila ajal tiba, segala impian dan kesenangan akan menjadi percuma.
Setelah lama merenung, aku kembali bertanya; bukankah kematian diciptakan Tuhan untuk membatasi kemampuan ilmu pengetahuan? Bukankah kematian diciptakan Tuhan untuk membatasi nalar karena ia berada di luar batas capai akal?
Dalam renung panjang, tafakur mendalam, bertanya-jawab dengan diri, tentang jiwa abadi, tentang alam semesta, tentang nyawa, hidup di dunia, alam baka, surga dan neraka, aku menemukan kepastian.
”Aku selalu siap pulang kembali ke tanah. Dunia ini hanya tempat sekejap singgah. Tempat melepas suntuk dan sekadar lelah.”
Kini, aku tahu, bahwa kematian diciptakan Tuhan untuk menjelaskan pada manusia, agar dengan akalnya ia berpikir dan dengan hatinya ia merasa, bahwa ada suatu keabadian yang lebih indah daripada kehidupan.