Bidadari Penanti Hujan - Niswa Djupri

Breaking

Kamis, 17 Maret 2011

Bidadari Penanti Hujan

: Tulisan Untuk Wanita Pecinta Hujan

Aku melihat wanita itu tersenyum ketika mendung mulai ada. Dia suka hujan. Rasanya, suaranya, dan segalanya tentang hujan. Sambaran kilat, gelegar guntur, bau tanah basah, serta gemericik hujan saat menyentuh bumi. Dia suka semuanya yang berkaitan tentang hujan.

Ketika berjuta tetesan air langit itu datang, senyumnya mulai melebar. Entah apa yang ia rasa. Aku pikir, dia suka hujan karena semua bisa menjadi basah. Tanah tak lagi kering, debu di atas batu pun tak lagi berdebu. Dahan-dahan dan daun-daun pun bergoyang berbasahan.

Dia selalu membayangkan bagaimana jadinya kalau dirinya ada di bawahnya. Merasakan butiran hujan menyentuh kulitnya yang halus, lalu terus membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang berada di antara tetesan-tetesan yang indah.

Aku menyebutnya Bidadari Penanti Hujan. Karena dia selalu menanti datangnya hujan. Dia suka hujan, dan selalu berhayal dengan hayalan tingkat tinggi tentang apa yang disebut hujan.

“Wahai langit..bulan..bintang...matahari..planet...kunang-kunang..kalong.... Hujanlaah sederas-derasnyaaa...” begitu katanya.

Kalimat yang tidak mudah untuk diartikan, namun aku yakin, aku bisa mengartikannya. Tapi aku tidak mau mengartikannya, karena aku takut salah. Aku takut kalau dia marah. Aku takut marahnya bisa melebihi gelegar guntur yang ia sering dengar. Karena ketika orang lain merasa takut akan suara guntur, dia malah tersenyum dan berkata, “Inilah karunia Tuhan.”

Aku hanya menerka saja, yaa, mungkin karena hujan memang mampu membasahi hatinya yang gersang, karena dengan begitu hatinya menjadi dingin dan galau itu akan berakhir. Membuat dirinya mencair kemudian terbawa oleh butiran hujan. Dan yang terpenting adalah, hujan mampu menyamarkan airmatanya dari penglihatan orang di sekitarnya.

Ya, dialah Bidadari Penanti Hujan. Penantiannya kini tak lama seperti dulu, karena hujan lebih sering datang terkadang tak diharapkan sekalipun. Hujanpun semakin sering menemani dirinya. Dirinya dulu yang sering galau, kini hanya karena hujan, galau itu sedikit demi sedikit memudar.

Dia masih setia bersama hujan. Karena hujan juga mampu menempatkannya pada letak paling dasar dari sebuah memori terindah, serta alunan rintik hujan menjadi simfoni khas yang mengiringi setiap sudut ingatan indah yang pernah dilaluinya.


09.45 Wita
Denpasar, 16 Maret 2011
Niswa Ma’rifah Djupri