Gemuruhku tak mampu lagi kau dengar, karena kini mulutku telah disumbat oleh ketidakadilan. Aku tak sanggup melakukan sesuatu kecuali menangis ketika untaian jiwaku tak mampu menahan hujaman yang sangat ingin aku tutup serapat-rapatnya. Namun ketika kau bertanya, “Apa alasannya?”, seketika itu pula mataku membanjir, rongga dadaku seperti diperas hingga aku sesak nafas, kemudian hancurlah dada ini hanya karena duka yang tak mampu aku tahan. Pertanyaanmu serasa membuatku tertahan antara masa lalu dan masa depan. Pertanyaan itu pula yang menggertakku dan kemudian memaksaku untuk mengingat hal kemarin.
Akulah wanita kecil yang selalu berusaha untuk menghibur diri sendiri melalui linangan airmata yang bercampur pikiran yang sedang terombang-ambing.
Akulah wanita kecil dari generasi asing yang merengek tentang suatu hal yang harus diganti. Namun karena demikian keadaanku, aku tak mampu berbicara lagi. Berat untuk menjawab, karena pada saat itu hatiku merasakan sesuatu yang membuatku tertutup kepahitan.
Aku mengambil sehelai kertas, kemudian aku mencoba menarikan sebuah pena di atasnya, hingga tercipta surat ini untukmu sembari mataku yang masih saja sembab.
Terdapat sesuatu yang lebih indah dan murni dibandingkan apa yang mampu diucapkan oleh mulut. Karena sederetan kata yang terucap dari sebuah bibir tidak selalu mampu membawa kedamaian. Aku tetap diam, hingga aku sendiri mampu mendengar detak jantungku.
Akankah permohonanku tidak kau pertimbangkan hanya karena aku sebagai wanita kecil dari generasi asing yang hanya mampu merengek dan diam ketika aku tau demikianlah keadaanku.???
22.40 Wita
Denpasar, 17 Maret 2011
Niswa Ma’rifah Djupri
Jumat, 18 Maret 2011
New