Aku hanya seorang wanita kecil yang sama dengan yang lain, bahkan aku tidak ada istimewanya. Sama seperti yag lain, terlahir dari rahim ibu yang luar biasa, mempunyai masa kecil yang sederhana namun berkesan karena tergabung dari cerita-cerita asam manis jalan hidup.
Sejak masa itu, aku menyukai pelangi. Sangat.!! Bahkan dulu, ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 2, aku menciptakan lagu ala kadarnya. Begini liriknya:
Aku menciptakannya dengan amat sederhana, tanpa aku tulis, tanpa ada not balok, tanpa vibrasi pita suara, dan tanpa lambaian tangan selayaknya lirik lagu tersebut yang menggambarkan pelangi yang selalu menari.
Saat itu, aku bermain sendiri. Beberapa teman menyebutku autis. Terkadang aku lebih suka diam, karena dengan diam aku mampu mendengar suara-suara yang tak bisa aku dengar ketika aku sedang bicara. Dan dengan diam pula aku mampu membuktikan bahwa apa yang aku dengar benar atau salah. Ya, karena diamku dulu, tidak sedikit teman-teman yang menyebutku autis. Aku tidak punya banyak teman karena diamku.
Pagi hari di sekolah yang saat itu masih sepi. Saat aku baru turun dari motor butut milik bapak, aku melihat pelangi yang sangat indah. Segera aku mencium tangan bapak dan meninggalkannya dengan berlari ke halaman sekolah secepat mungkin. Sempat bapak mengernyitkan dahi sambil tersenyum melihatku, namun bapak bergegas pergi karena harus bekerja.
Aku berdiri di tengah halaman sekolah cukup lama. Baru aku sadari di sebelahku ada teman kecilku yang sekelas denganku. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum manis, ditambah dengan wajah cantik serta rambut lurusnya yang dihiasi jepit rambut berwarna merah muda. Aku berbalik tersenyum padanya.
Lalu aku bertanya, “Kamu bisa menyentuh pelangi itu?”
Dia hanya menjawab dengan gelengan kepalanya saja. Aku simpulkan, diapun sama sepertiku, kami sama-sama tidak bisa menyentuh sang pelangi. Dia melihatku yang sedang menampakkan wajah putus asa.
Detik waktu terus berjalan, sekolah sudah ramai dipenuhi teriakan ceria murid-murid yang cerianya tak bisa aku tirukan. Waktu menunjukkan pukul 7, tanda masuk kelas telah berbunyi.
Di kelas, sebelum ibu guru datang, aku menanyai teman-temanku, “Kamu bisa menyentuh pelangi?” Dengan jawaban mereka, aku putus asa. Mereka menjawab tidak bisa, bahkan ada yang diam, kemudian menertawakanku. Aku tak sadar kalau pertanyaanku sangat bodoh.
Sejak saat itu, aku selalu berdoa agar aku mampu menyentuh pelangi. Bahkan aku tak segan meminta pada Tuhan agar memberikanku pelangi dan aku simpan di kamar agar aku bisa melihatnya kapan saja.
Sesampainya aku tersadar kalau itu hanya ceritaku semasa menjadi anak kecil autis, aku menghentikan doa itu. Aku tau, Tuhan tidak mungkin mengijinkanku menyentuh pelanginya yang indah, apalagi memberiku pelangi yang telah dibuatNya.
Kini seakan aku kembali seperti dulu. Doa yang aku panjatkan dulu, kini aku ulangi lagi. Aku tau itu tidak mungkin, tapi aku terus ingin mengucapkan doa ini. Bahkan doaku pagi ini semakin berlebihan.
Aku benar-benar membutuhkan pelangi…
Sejak masa itu, aku menyukai pelangi. Sangat.!! Bahkan dulu, ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 2, aku menciptakan lagu ala kadarnya. Begini liriknya:
Dengarkan laguku
Ungkapkan jiwa yang satu
Tiada kata untukmu semerdu suaraku
Kulihat pelangi di pagi hari
Dia selalu menari, mengiringi langkah bumi
Aku menciptakannya dengan amat sederhana, tanpa aku tulis, tanpa ada not balok, tanpa vibrasi pita suara, dan tanpa lambaian tangan selayaknya lirik lagu tersebut yang menggambarkan pelangi yang selalu menari.
Saat itu, aku bermain sendiri. Beberapa teman menyebutku autis. Terkadang aku lebih suka diam, karena dengan diam aku mampu mendengar suara-suara yang tak bisa aku dengar ketika aku sedang bicara. Dan dengan diam pula aku mampu membuktikan bahwa apa yang aku dengar benar atau salah. Ya, karena diamku dulu, tidak sedikit teman-teman yang menyebutku autis. Aku tidak punya banyak teman karena diamku.
Pagi hari di sekolah yang saat itu masih sepi. Saat aku baru turun dari motor butut milik bapak, aku melihat pelangi yang sangat indah. Segera aku mencium tangan bapak dan meninggalkannya dengan berlari ke halaman sekolah secepat mungkin. Sempat bapak mengernyitkan dahi sambil tersenyum melihatku, namun bapak bergegas pergi karena harus bekerja.
Aku berdiri di tengah halaman sekolah cukup lama. Baru aku sadari di sebelahku ada teman kecilku yang sekelas denganku. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum manis, ditambah dengan wajah cantik serta rambut lurusnya yang dihiasi jepit rambut berwarna merah muda. Aku berbalik tersenyum padanya.
Lalu aku bertanya, “Kamu bisa menyentuh pelangi itu?”
Dia hanya menjawab dengan gelengan kepalanya saja. Aku simpulkan, diapun sama sepertiku, kami sama-sama tidak bisa menyentuh sang pelangi. Dia melihatku yang sedang menampakkan wajah putus asa.
Detik waktu terus berjalan, sekolah sudah ramai dipenuhi teriakan ceria murid-murid yang cerianya tak bisa aku tirukan. Waktu menunjukkan pukul 7, tanda masuk kelas telah berbunyi.
Di kelas, sebelum ibu guru datang, aku menanyai teman-temanku, “Kamu bisa menyentuh pelangi?” Dengan jawaban mereka, aku putus asa. Mereka menjawab tidak bisa, bahkan ada yang diam, kemudian menertawakanku. Aku tak sadar kalau pertanyaanku sangat bodoh.
Sejak saat itu, aku selalu berdoa agar aku mampu menyentuh pelangi. Bahkan aku tak segan meminta pada Tuhan agar memberikanku pelangi dan aku simpan di kamar agar aku bisa melihatnya kapan saja.
Sesampainya aku tersadar kalau itu hanya ceritaku semasa menjadi anak kecil autis, aku menghentikan doa itu. Aku tau, Tuhan tidak mungkin mengijinkanku menyentuh pelanginya yang indah, apalagi memberiku pelangi yang telah dibuatNya.
Kini seakan aku kembali seperti dulu. Doa yang aku panjatkan dulu, kini aku ulangi lagi. Aku tau itu tidak mungkin, tapi aku terus ingin mengucapkan doa ini. Bahkan doaku pagi ini semakin berlebihan.
Wahai Maha Cintaku Nan Agung, apakah tangisan pagi ini cukup mampu gantikan hujan dan pancaran ikhlas hati cukup mampu gantikan sang surya untuk membentuk pelangi seperti yang biasa Kau ciptakan? Kalau iya, ijinkanlah aku selalu menangis, ijinkankanlah aku selalu mampu pancarkan ikhlas hati, agar pelangi segera hadir tuk dapat kusentuh dan aku simpan di kamarku.
Saat nanti jemari ini mulai melemah untuk menggenggam senja, dan saat langkah mulai terasa berat menggapai malam, maukah Kau menetapkan pelangi di pergelangan tangan kecil pemilik linangan airmata dari mata terindah? Maukah kau dengar bisikan doa dari pemilik hati yang tak lagi bersih?
Dari semua dosa, nista, dan kerendahanku, aku mohon kabulkan doa diri ini yang amat kecil dihadapMu.
Aku benar-benar membutuhkan pelangi…
10.08 Wita
Denpasar, 26 Desember 2011
Niswa Ma’rifah Djupri